tirto.id - Pukul setengah tiga, pagi telepon genggam saya berbunyi, sebuah panggilan yang mengabarkan kondisi pasien yang harus cepat-cepat dioperasi. Sebelumnya, hasil pemeriksaan kandungan menunjukkan gambaran bagus, si jabang bayi juga diprediksi lahir sesuai hitungan Hari Perkiraan Lahir (HPL) dengan kondisi normal. Tapi, tiba-tiba ibunya harus menjalani operasi caesar.
Sesaat setelah lahir, nilai Apgar-nya tak pernah naik dari angka dua, si bayi mengalami sesak napas. Nilai Apgar merepresentasikan kondisi bayi baru lahir menggunakan lima kriteria sederhana, yakni warna kulit, denyut jantung, respons refleks, tonus otot/keaktifan, dan pernapasan. Nilai 0-3 artinya bayi butuh tindakan medis intensif, nilai 4-6 bayi perlu tindakan medis segera, sedang nilai 7-10 bayi dikategorikan normal.
Saya tidak tahu lagi bagaimana nasib bayi-bayi di luaran sana yang harus mengalami nasib serupa, sekarang. Sebelum tanggal 25 Juli lalu biaya kelahiran mereka bisa saja ditanggung BPJS Kesehatan, si bayi akhirnya mendapat bantuan medis intensif dan berangsur sehat, tapi tidak saat ini. Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan (Perdirjampelkes) Nomor 3 tahun 2018 yang diteken berbarengan Perdirjampelkes no 2 dan 5 menjadi penghalang.
Bayi Baru Lahir
Budi Wiweko menyeritakan kisah saat harus melakukan tindakan operasi pada pasiennya beberapa waktu lalu. Sebagai Sekjen Perhimpunan Obstetri dan Ginekologi Indonesia (POGI), ia dengan tegas menolak Perdirjampelkes Nomor 3 tahun 2018. Pembatasan biaya BPJS Kesehatan untuk penjaminan bayi baru lahir dengan kondisi sehat pasca-operasi, caesar maupun per vaginam.
“Sistem paketan BPJS akan mempersulit kerja resusitasi, bayi akan berisiko cacat,” katanya saat memberikan keterangan di Kantor PB IDI beberapa waktu lalu.
Pengaktifan Perdirjampelkes Nomor 3 membuat penjaminan BPJS pada bayi baru lahir dengan kondisi sehat dibayar dalam satu paket persalinan. Artinya klaim biaya anak yang butuh perawatan khusus ditagih di luar paket persalinan. Saat ini BPJS hanya menjamin sekitar Rp4 juta untuk persalinan caesar dari sebelumnya berkisar antara Rp7 juta. Padahal dengan sistem sebelumnya pun, Budi mengaku pembiayaan persalinan sudah sangat terbatas.
“Setiap persalinan berisiko tinggi, bayi bisa mengalami kondisi membahayakan di detik-detik terakhir persalinan,” ungkap Budi. Singkatnya, prediksi kesehatan bayi tak bisa menjamin kondisi pasca-kelahiran. Perdirjampelkes Nomor 3 dikhawatirkan menghambat upaya menurunkan Angka Kematian Ibu dan Angka Kematian Bayi (AKI dan AKB).
Katarak
Selain pembatasan penjaminan bayi baru lahir, penyakit lain yang kena efisiensi biaya adalah katarak. Perdijampel Nomor 2 hanya menjamin penderita penyakit katarak dengan visus kurang dari 6/18. Tak hanya itu, jumlah operasi katarak pun harus dibatasi kuota. Sebelumnya, tak ada pengecualian visus bagi penderita katarak. Semua tingkat bisa ikut operasi dengan jaminan BPJS.Katarak merupakan
penyakit mata yang dapat membuat penderitanya mengalami kebutaan. Penyakit ini disebabkan oleh keruhnya lensa mata sehingga menghalangi cahaya masuk ke retina. Lazimnya, katarak diderita oleh orang berumur di atas 50 tahun. Karena faktor usia, kemampuan lensa mata untuk mempertahankan kejernihan jadi berkurang.
“Jika aturan ini tetap dijalankan, maka beban biaya kesehatan akan meningkat,” ungkap Ketua Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami), Johan Hutauruk pada kesempatan sama.
Ia mendeskripsikan beban biaya tersebut dalam satu gambaran singkat tentang kepala keluarga yang buta akibat katarak. Akibatnya pria tersebut tak bisa bekerja, keluarganya kehilangan tulang punggung, anak-anak putus sekolah, belum lagi cedera yang mungkin terjadi karena kemampuan visual berkurang. Bukan tak mungkin angka kemiskinan nasional ikut naik karenanya.
Menurut situs resmi Perdami, angka penyandang kebutaan di Indonesia mencapai 3 juta penduduk, tertinggi di Asia, nomor dua di dunia. Jumlah ini dianalogikan dengan satu kebutaan setiap satu menit berjalan. Katarak menyumbang hampir 80 persen dari total kebutaan. Ketika Perdijampel Nomor 2 diterapkan, maka Vision 2020 sebagai upaya mengeliminasi semua penyebab utama kebutaan di tahun 2020 yang telah dicanangkan pada 2000 akan semakin terjegal.
Rehabilitasi Medik
Poin terakhir dari tiga penjaminan yang diefisiensi BPJS Kesehatan adalah Perdirjampelkes Nomor 5 tahun 2018. Isinya membatasi rehabilitasi medis dibatasi maksimal 2 kali per minggu atau 8 kali dalam sebulan. Jika lebih, pasien harus menanggung kelebihan biaya rehabilitasinya. Padahal, standar rehabilitasi medik antar-pasien dan antar-jenis penyakit jelas berbeda satu sama lain.
Ketua Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (Perdosri), dr. Sudarsono, Sp.KFR mengatakan bentuk penjaminan tersebut tak sesuai standar pelayanan rehabilitasi medik. Selama ini, rehabilitasi penyakit berpedoman pada standar ilmu medik, sehingga menerapkan pembatasan artinya menyalahi pakem. Dampaknya selain pelayanan terhambat, capaian terapi pun berada di bawah standar.
“Terapi tak optimal dan disabilitas sulit diatasi,” ujar Sudarsono. Jika sudah begini pasien dan negara akan sama-sama merugi karena akan lebih lama menanggung beban penyakit.
Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Ilham Oetama Marsis menambahkan, pembatasan tindakan medis pada pasien akan membikin masalah baru di lapangan. Dokter dipaksa melanggar sumpah karena melakukan praktik kedokteran yang tak sesuai standar keilmuan akibat intervensi BPJS. Selain itu, Perdirjampelkes juga akan meningkatkan konflik dan gugatan dari pasien kepada dokter.
“BPJS Kesehatan sudah masuk ranah medis, dan itu bukan kewenangannya. Dokter harus memberikan pelayanan sesuai standar profesi,” tegas Marsis.
Sumber : tirto.id