Jakarta, Beritasatu.com - Dalam Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), pelayanan rehabilitasi medik juga dijamin oleh BPJS Kesehatan berdasarkan indikasi medis dan sesuai dengan standar pelayanan.
Pelayanan rehabilitasi medik merupakan pelayanan kesehatan terhadap gangguan fisik dan fungsional yang diakibatkan oleh keadaan atau kondisi sakit, penyakit atau cedera melalui paduan intervensi medis, keterapian fisik, dan atau rehabilitatif untuk mencapai kemampuan fungsi yang optimal.
Pelayanan rehabilitasi medik ini diberikan oleh tim rehabilitasi medik yang terdiri dari Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi (SpKFR) sebagai dokter penanggung jawab pasien (DPJP) rehabilitasi medik, fisioterapis, terapis wicara, terapis okupasi, psikolog, perawat rehabilitasi medis, orthotic prosthetic, hingga petugas sosial medik.
Ada berbagai macam terapi pengobatan yang diberikan oleh tim rehabilitasi medik. Regimen terapi mengacu pada hasil assessment kebutuhan rehabilitasi medik sesuai indikasi medis dari dokter Sp.KFR.
Ketua Umum Perhimpunan Besar Dokter Spesialis Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi Indonesia (PB Perdosri), Dr dr Tirza Z Tamin SpKFR (K) menyampaikan, pelayanan rehabilitasi medis ini dilaksanakan melalui pendekatan sistem pelayanan satu pintu (one gate system).
"Artinya setiap pasien yang memerlukan pelayanan rehabilitasi medik harus mendapatkan pengkajian, penegakan, diagnosis medis dan fungsional, prognosis, penetapan goal atau tujuan, serta penetapan tatalaksana rehabilitasi medik oleh SpKFR sesuai dengan regulasi yang mengatur tentang pelayanan rehabilitasi medik di Rumah Sakit (Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 378 tahun 2008)," kata dr Tirza di Jakarta, Selasa (22/9/2020).
Pendekatan ini, menurut dr Tirza, sangat penting. Sebab, pelayanan rehabilitasi medik merupakan tindakan yang membutuhkan waktu cukup panjang. Sehingga apabila tidak dilakukan dengan tepat, akan membuat pasien menghabiskan waktu yang lama tanpa hasil terapi yang jelas.
Di sisi lain, pengelolaan tindakan rehabilitasi medik yang tidak tepat dapat menyebabkan risiko terhadap keselamatan pasien, misalnya pemberian modalitas terapi diatermi (terapi panas dalam) yang memiliki risiko luka bakar atau tidak boleh pada kasus tumor/keganasan akan berakibat buruk pada pasien bila diberikan tidak sesuai dengan indikasi dan kontraindikasi pemberiannya.
"Assessment kebutuhan rehabilitasi medik harus diberikan oleh SpKFR sebagai DPJP. Adapun DPJP ini merupakan dokter yang memang kompeten di bidangnya," jelasnya.
Bila memang rumah sakit tidak memiliki SpKFR, menurut dr Tirza, solusinya adalah dengan meminta tenaga dokter SpKFR kepada Perdosri. Saat ini, Perdosri juga tengah berupaya memenuhi ketersediaan dokter SpKFR di setiap rumah sakit, khususnya rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan.
Sejak dikeluarkannya Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2020 tentang Prosedur Penjaminan Operasi Katarak dan Rehabilitasi Medik dalam Program Jaminan Kesehatan, Perdosri juga telah aktif mengisi tenaga dokter SpKFR di rumah sakit yang sebelumnya tidak memiliki SpKFR.
"Fokus Perdosri saat ini adalah pemerataan SpKFR. Sekarang ini kan dibilangnya tidak ada SpKFR di sebagian rumah sakit. Terkait hal ini, kita juga melakukan optimalisasi. Misalnya melalui SIP (Surat Izin Praktik Dokter), ini kan bisa menjadi 3. Kemudian melalui Surat Tugas, setiap dua minggu kita bisa datang ke sana. Tugas Belajar (Tubel) yang dari PPSDM juga akan ke sana," jelas dr Tirza.
"Kemudian untuk lulusan baru, ada 40 sampai 50 lulusan baru per enam bulan sudah kita buat untuk penetapan SIP-nya. Jadi kita lihat kelas rumah sakitnya. Misalkan di rumah sakit kelas C sudah ada dua orang SpKFR, kita minta ketua cabang Perdosri untuk disebar ke tempat yang belum ada SpKFR. Lalu, center pendidikan juga sudah ditambah 6 menjadi 11," tambahnya.
Permasalahan yang terjadi di lapangan, kata dr Tirza, banyak rumah sakit yang tidak memiliki SpKFR, namun tidak meminta ke Perdosri. Saat ini ada sekitar 100 rumah sakit yang tidak memiliki SpKFR dan belum meminta kepada Perdosri.
"Dengan keluarnya Peraturan BPJS Kesehatan tentang pelayanan rehabilitasi medik, sudah banyak rumah sakit yang meminta dokter SpKFR dan sudah kita isi. Jumlahnya ada sekitar 150 rumah sakit yang kita isi. Tetapi saat ini masih ada sekitar 100 rumah sakit yang belum meminta kepada kami, padahal sebetulnya dokter SpKFR ini sudah siap kalau diminta," paparnya.
Untuk daerah-daerah yang sulit diakses karena pertimbangan geografis dan belum memungkinkan dipenuhinya SpKFR, Perdosri juga memiliki wacana untuk melatih Dokter Umum Terlatih yang disupervisi oleh SpKFR. Hal ini memungkinkan untuk dilakukan karena dibenarkan secara regulasi di KMK 378/2008.
"Jadi kami imbau kepada rumah sakit yang belum mempunyai SpKFR untuk meminta kepada Perdosri, nanti akan langsung kita turunkan," kata dr Tirza.
"Melalui koordinasi yang optimal tersebut, harapannya pelayanan rehabilitasi medik untuk peserta JKN-KIS menjadi lebih baik dan sesuai dengan tata kelola pelayanan kesehatan yang bermutu dan mengutamakan keselamatan pasien," pungkasnya.
Sumber : beritasatu.com